Pengertian KDRT
Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Bentuk-bentuk
KDRT
Bentuk
KDRT menurut Pasal 5:
Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.
kekerasan fisik
b.
kekerasan psikis
c.
kekerasan seksual
d.
penelantaran rumah tangga
Dampak
Psikologis Pada Korban KDRT:
KDRT dapat menimbulkan dampak
yang serius pada korban dan orang terdekatnya
(misal:
anak). Adanya dampak fisik mungkin lebih tampak. Misal: luka, rasa sakit,
kecacatan,
kehamilan,
keguguran kandungan, kematian. Apapun bentuk kekerasannya, selalu ada dampak
psikis
dari KDRT. Dampak psikis dapat dibedakan dalam ”dampak segera” setelah
kejadian,
serta
”dampak jangka menengah atau panjang” yang lebih menetap. Dampak segera,
seperti
rasa
takut dan terancam, kebingungan, hilangnya rasa berdaya, ketidakmampuan
berpikir,
konsentrasi,
mimpi buruk, kewaspadaan berlebihan. Mungkin pula terjadi gangguan makan
dan
tidur.
Karakteristik Korban
KDRT:
Seorang
perempuan yang terpelajar dan mandiri secara ekonomi, tetap dapat menjadi
pribadi yang tidak mudah mengambil keputusan dalam menghadapi KDRT. Hal ini
dapat terjadi karena:
1.
Karakteristik individu (pasif, cenderung kecil hati dan tidak mampu mengambil
keputusan).
2.
Peristiwa masa lalu yang membekas dan menghalangi bersikap asertif (trauma masa
lalu
yang belum terselesaikan dengan baik dan
berpengaruh terhadap cara berpikir, merasa dan
bertindak saat ini).
3.
Keluarga berasal dari keluarga konvensional dan menekankan keutuhan rumah
tangga
sebagai hal yang paling baik (ideologi
gender yang kaku).
Karakteristik
Pelaku:
Pelaku baik sadar atau tidak memiliki
peran gender yang kaku dan seolah-olah membenarkan
mereka
untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan atau anak yang ada di bawah
lindungannya.
Meski
demikian, ada pula karakteristik psikologis yang berbeda, misalnya:
•
Ada
yang pada dasarnya memang telah hidup dalam budaya kekerasan, melihat kekerasan
sebagai cara menyelesaikan konflik dan mendapatkan hal yang diinginkan. Misal,
orang dengan kepribadian ”preman”.
•
Ada
yang mungkin tampak baik-baik saja di depan orang yang tidak mengenal secara
dekat. Ia terkesan sopan dan bersedia
bekerja sama. Akan tetapi secara khusus orang ini berpandangan rendah tentang perempuan dan
menuntut perempuan untuk patuh, melayani, mengikuti hal yang diinginkan. Ia
tersosialisasi untuk mengembangkan dominasi yang besar atas perempuan. Sebagai
kepala keluarga, ia juga menuntut anak untuk patuh.
•
Dekat
dengan ciri di atas, pelaku yang dibesarkan dalam lingkungan disiplin bernuansa
kekerasan di masa kecil akan mengambil pola yang sama untuk keluarganya ketika
dewasa.
Tanda-tanda
potensi pelaku KDRT sebelum menikah:
•
Cenderung
kasar pada semua orang. Misal: pada teman, saat menyetir mobil, di tempat umum,
dan keluarga sendiri. Ia mudah tersinggung dan marah, ketika marah bersikap
kasar.
•
Dalam
keluarganya, kita melihat kebiasaan kekerasan, kurang peduli pada orang lain,
mau menang sendiri, tidak mau berbagi. Ayah mungkin memberikan contoh kekerasan
dan anak-anak menirunya.
•
Ia
mungkin egois dan selalu memikirkan kepentingannya sendiri, enggan berbagi.
Orang lain yang harus menjaga perasaan dan lebih banyak menyesuaikan diri.
•
Ia
tidak terlihat kasar saat pergaulan sehari-hari, tetapi terkesan tidak dapat
mengendalikan diri saat kecewa atau marah. Bila kecewa atau marah, ia dapat
bersikap kasar, bertingkah laku membahayakan, dan membuat orang merasa takut.
•
Ia
mudah curiga pada orang lain, mudah menyalahkan, banyak berpikiran buruk,
khususnya perilaku pasangan.
•
Ia
posesif dan tidak memberikan ruang pribadi bagi kita.
•
Ia
cenderung meyakini pembagian peran gender yang kaku, menempatkan laki-laki
sebagai penentu.
•
Ia
tidak menunjukkan penyesalah setelah berbuat salah atau menyakiti orang lain.
Ia malah mempersalahkan orang lain atas kekasaran yang dilakukannya.
•
Ia
senang berjudi, minum dan mabuk, terlibat penggunaan obat-obatan bahkan hingga kecanduan.
Jika kita telah mengenali
karakter pelaku KDRT, maka akan lebih baik ketika kita dapat
melakukan
tindakan pencegahan sebelum terjadi sesuatu yang lebih serius.
Peran-peran
Pemerintah Dalam Mengatasi KDRT:
1. Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT
(Pasal 10 dan Pasal 11):
1)
Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), telah mengeluarkan berbagai kebijakan
terkait dengan pemberdayaan perempuan, termasuk pemberdayaan untuk korban KDRT;
2)
Departemen
Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi korban;
3)
Departemen
Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
4)
Kepolisian
R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap
korban;
5)
Rumah
Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
6)
Lembaga
Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau
penanganan korban.
2. Peran Instansi Daerah dan Program terkait
KDRT:
a.
Biro Pemberdayaan Perempuan (Biro PP)
1)
Membuat kebijakan-kebijakan terkait PKDRT di
daerah, diantaranya:
a)
Sumatera Utara: SK Gubernur tentang
Pembentukan P2TP2A;=
b)
Nusa Tenggara Barat: SK Bersama Biro PP, Biro
KeSos, dan Polda mengenai Penanganan Korban KDRT;
c)
Lampung : Kebijakan mengenai Pembentukan Unit
Pelayanan Terpadu Perempuan Korban Kekerasan (UPT-PKTK);
2)
Melakukan advokasi hukum, sosialisasi, dan
pelatihan sensitif gender;
3)
Melakukan KIE, diantaranya melalui
pengembangan model desa prima,
4)
Rumah Aman, untuk menampung korban KDRT yang
mengalami trauma (ditemui di Sumut, Kalbar, dan NTB).
b.
Dinas Kesehatan.
1)
Adanya
Kebijakan Departemen Kesehatan/Pusat, yakni,
Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di
Tingkat Pelayanan Dasar (Bagian dari Informasi Kesehatan Reproduksi);
2)
Melakukan
sosialisasi pedoman Depkes-Pusat tersebut, melalui pelatihan untuk tenaga kesehatan (Pasal 40 UU-PKDRT, kewajiban
tenaga kesehatan);
3)
Wajib
memeriksa korban sesuai standar profesi;
4)
Wajib
melakukan pemulihan dan rehabilitasi korban;
5)
Berwenang
melakukan pembinaan terhadap Dinkes kabupaten/kota untuk membentuk pusat
pelayanan terpadu di rumah sakit/Puskesmas
6)
Adanya
kebijakan provinsi mengenai pembentukan tenaga kesehatan untuk menangani korban
kekerasan (SK Gubernur).
c.
Dinas
Sosial.
1)
Berkewajiban melakukan pemulihan psikososial,
rehabilitasi, atau pendampingan korban
KDRT;
2)
Di
Shelter: tersedia tenaga medis dan
adanya petunjuk pelaksanaan penanganan
korban
3)
Melakukan
sosialisasi, KIE melalui pelatihan rutin di bidang sosial, pelatihan
keterampilan kepada korban,antara lain, bidang usaha, untuk mengurangi
ketergantungan ekonomi terhadap pelaku. Misalnya, pada Dinas Sosial Prov.
Sumatera Utara, sudah ada Buku Panduan Profesi Pekerja Sosial;
4)
Dalam
penanganan korban, dapat dirujuk ke rumah penampungan (shelter), hal ini
tersedia di NTB, Lampung, dan Sumut. Sedangkan di Kalbar tersedia rumah aman untuk korban, yakni,
rumah sosial perlindungan anak, ruang untuk konseling. Di Sulawesi Selatan baru
akan tersedia trauma center.
d.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Polda.
1)
Untuk
melakukan penanganan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan/anak dan
KDRT;
2)
Adanya
rasa nyaman/tidak menyeramkan, petugas tidak berseragam kepolisian, dipimpin
oleh polisi wanita (Polwan), termasuk untuk penanganan korban juga dilakukan
Polwan atau PNS perempuan;
3)
Terstruktur,
di Sumatera Utara sudah terstruktur 3(tiga) tahun yang lalu, dan dampaknya
positif terutama adanya motivasi yang
kuat terhadap Staf;
4)
Visi
RPK: “Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan bantuan
medis, psikologi, maupun hukum sampai masalah terselesaikan;
5)
Misi
RPK adalah :
a)
memberikan
rasa aman dan nyaman;
b)
memberikan
pelayanan secara cepat, profesional, empati, dan rasa kasih;
c)
membangun
jaringan kerja sama antar instansi/badal/lembaga untuk menyelesaikan masalah
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
6)
Tugas
RPK:
a)
menerima
pengaduan, melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak dan KDRT, membuat laporan, permohonan visum jika diperlukan,
dan merujuk korban ke rumah sakit;
b)
menjelaskan
hak-hak korban dan merahasiakan identitasnya;
c)
memberikan
konseling bagi korban yang datang dalam keadaan depresi, atau menempatkan
korban ke shelter, jika perlu perlindungan. Catatan: Belum semua Polda
mempunyai shelter tersendiri, untuk itu dapt korban ditempatkan di shelter
milik instansi lain atau LSM/LBH;
d)
memberikan
kemudahan bagi korban KDRT yang melaporkan kasusnya dengan tujuan selain untuk memberikan
pelayanan yang nyata membantu korban juga untuk menghilangkan stigma adanya
prosedur yang berbelit-belit jika berurusan dengan polisi. Namun demikian,
masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena masyarakat masih menganggapnya
sebagai aib keluarga dan mereka juga malu jika kasusnya diketahui oleh
lingkungan sekitarnya;
e)
upaya
bantuan hukum juga diberikan kepada korban dengan cara mendatangi korban;
f)
melakukan
tindakan tegas bagi pelaku yang yang telah melakukan kekerasan fisik dalam hal korban menderita cacat, dengan terus memproses kasusnya walau korban menarik
laporannya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan karena dampak yang diderita
korban, dan kasus tersebut juga bukan delik aduan seingga dengan meneruskannya
ke pengadilan diharapkan pelaku menjadi jera dan memberi efek pada penurunan
kasus;
g)
sosialisasi KDRT di lingkungan ibu-ibu
bhayangkari dan masyarakat langsung bekerja sama dengan Biro PP, dengan harapan
adanya pemahaman yang sama terhadap masalah KDRT dan dampak yang dialami akibat adanya KDRT.
e.
Rumah
Sakit.
1)
Fokus
untuk pelayanan medis bagi korban KDRT, di samping juga memberikan pelayanan konseling bagi korban
yang memerlukannya;
2)
Harus
membentuk pusat pelayanan terpadu/PPT, pada RS.Bhayangkara di Polda sudah terbentuk PPT, kecuali di Kalimantan Barat yaitu di RS Pemda dan
Lampung sudah memiliki kebijakan khusus untuk pembentukan PPT sebelum
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT;
3)
Pihak
rumah sakit telah mengeluarkan kebijakan mengenai prosedur penanganan medis,
agar korban ditangani sesuai prosedur dan standar profesi;
4)
Rumah
sakit yang sudah memiliki PPT tidak memungut biaya penanganan medis termasuk
visum et repertum, jika korban telah mendapat rujukan dari instansi/lembaga
yang menangani;
5)
Tidak
membedakan korban yang mampu atau tidak mampu, namun di Lampung terhadap korban
yang mampu biasanya dirawat di RS.Swasta;
6)
RS.
Bhayangkara memberikan advokasi hukum kepada korban yang membutuhkan, bekerja
sama dengan LBH. Bahkan di Sulawesi
Selatan meski dengan sarana terbatas, telah memiliki rumah aman, untuk
memulihkan psikis korban dan tempat perlindungan korban.
f.
Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Bantua
Hukum (LSM/LBH)
1)
Lembaga
yang dikunjungi adalah LBH APIK, kecuali di Lampung LSM Damar. Kasus-kasus yang
ditangani sekitar kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk korban KDRT;
2)
Penanganan
yang diberikan kepada korban, diantaranya dengan pemberian penjelasan tentang hak-hak korban
utnuk selalu didampingi pada setiap proses pemeriksaan dan pengadilan jika
kasusnya berlanjut ke meja hijau.
3)
Merahasiakan
informasi dan dentitas korban, dengan fasilitasi perlindungan di shelter jika
memang dibutuhkan (misalnya, di Sumut, Kalbar, Lampung, dan NTB);
4)
Memberikan
bimbingan rohani bagi korban yang dalam kondisi mental tertekan;
5)
Melakukan
sosialisasi (melalui brosur, leaflet, pamflet), pelatihan untuk peningkatan
staf dan relawan guna memulihkan kondisi korban;
6)
Beberapa
kasus yang ditangani, diantaranya kasus penelantaran rumah tangga atas korban
yang berstatus kawin siri (Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat). Kendala yang
dialaminya, sulit mencari bukti berupa surat keterangan RT/RW atau pernyataan
saksi yang menghadiri pernikahan, maka untuk penyelesaian kasusnya lebih dianjurkan agar korban dan pelaku untuk
berdamai (Sumatera Utara). Dalam hal kasusnya adalah kekerasan fisik, maka
untuk bukti visum digunakan pasal KUHP
untuk menjerat pelaku.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar