Minggu, 30 Maret 2014

KDRT(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Indonesia

Pengertian KDRT
Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk-bentuk KDRT
Bentuk KDRT menurut Pasal 5:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik
b. kekerasan psikis
c. kekerasan seksual
d. penelantaran rumah tangga
Dampak Psikologis Pada Korban KDRT:
KDRT dapat menimbulkan dampak yang serius pada korban dan orang terdekatnya
(misal: anak). Adanya dampak fisik mungkin lebih tampak. Misal: luka, rasa sakit, kecacatan,
kehamilan, keguguran kandungan, kematian. Apapun bentuk kekerasannya, selalu ada dampak
psikis dari KDRT. Dampak psikis dapat dibedakan dalam ”dampak segera” setelah kejadian,
serta ”dampak jangka menengah atau panjang” yang lebih menetap. Dampak segera, seperti
rasa takut dan terancam, kebingungan, hilangnya rasa berdaya, ketidakmampuan berpikir,
konsentrasi, mimpi buruk, kewaspadaan berlebihan. Mungkin pula terjadi gangguan makan
dan tidur.

Karakteristik Korban KDRT:
Seorang perempuan yang terpelajar dan mandiri secara ekonomi, tetap dapat menjadi pribadi yang tidak mudah mengambil keputusan dalam menghadapi KDRT. Hal ini dapat terjadi karena:
1. Karakteristik individu (pasif, cenderung kecil hati dan tidak mampu mengambil keputusan).
2. Peristiwa masa lalu yang membekas dan menghalangi bersikap asertif (trauma masa lalu
    yang belum terselesaikan dengan baik dan berpengaruh terhadap cara berpikir, merasa dan
    bertindak saat ini).
3. Keluarga berasal dari keluarga konvensional dan menekankan keutuhan rumah tangga
    sebagai hal yang paling baik (ideologi gender yang kaku).
Karakteristik Pelaku:
Pelaku baik sadar atau tidak memiliki peran gender yang kaku dan seolah-olah membenarkan
mereka untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan atau anak yang ada di bawah
lindungannya.
Meski demikian, ada pula karakteristik psikologis yang berbeda, misalnya:
         Ada yang pada dasarnya memang telah hidup dalam budaya kekerasan, melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik dan mendapatkan hal yang diinginkan. Misal, orang dengan kepribadian ”preman”.
         Ada yang mungkin tampak baik-baik saja di depan orang yang tidak mengenal secara dekat.  Ia terkesan sopan dan bersedia bekerja sama. Akan tetapi secara khusus orang ini  berpandangan rendah tentang perempuan dan menuntut perempuan untuk patuh, melayani, mengikuti hal yang diinginkan. Ia tersosialisasi untuk mengembangkan dominasi yang besar atas perempuan. Sebagai kepala keluarga, ia juga menuntut anak untuk patuh.
         Dekat dengan ciri di atas, pelaku yang dibesarkan dalam lingkungan disiplin bernuansa kekerasan di masa kecil akan mengambil pola yang sama untuk keluarganya ketika dewasa.

Tanda-tanda potensi pelaku KDRT sebelum menikah:
         Cenderung kasar pada semua orang. Misal: pada teman, saat menyetir mobil, di tempat umum, dan keluarga sendiri. Ia mudah tersinggung dan marah, ketika marah bersikap kasar.
         Dalam keluarganya, kita melihat kebiasaan kekerasan, kurang peduli pada orang lain, mau menang sendiri, tidak mau berbagi. Ayah mungkin memberikan contoh kekerasan dan anak-anak menirunya.
         Ia mungkin egois dan selalu memikirkan kepentingannya sendiri, enggan berbagi. Orang lain yang harus menjaga perasaan dan lebih banyak menyesuaikan diri.
         Ia tidak terlihat kasar saat pergaulan sehari-hari, tetapi terkesan tidak dapat mengendalikan diri saat kecewa atau marah. Bila kecewa atau marah, ia dapat bersikap kasar, bertingkah laku membahayakan, dan membuat orang merasa takut.
         Ia mudah curiga pada orang lain, mudah menyalahkan, banyak berpikiran buruk, khususnya perilaku pasangan.
         Ia posesif dan tidak memberikan ruang pribadi bagi kita.
         Ia cenderung meyakini pembagian peran gender yang kaku, menempatkan laki-laki sebagai penentu.
         Ia tidak menunjukkan penyesalah setelah berbuat salah atau menyakiti orang lain. Ia malah mempersalahkan orang lain atas kekasaran yang dilakukannya.
         Ia senang berjudi, minum dan mabuk, terlibat penggunaan obat-obatan bahkan hingga kecanduan.
Jika kita telah mengenali karakter pelaku KDRT, maka akan lebih baik ketika kita dapat
melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi sesuatu yang lebih serius.

Peran-peran Pemerintah Dalam Mengatasi KDRT:

1.  Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11):

1)      Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberdayaan perempuan, termasuk pemberdayaan untuk korban KDRT;
2)      Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi korban;
3)      Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
4)      Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap korban;
5)      Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
6)      Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau penanganan korban.


2.  Peran Instansi Daerah dan Program terkait KDRT:

a.     Biro Pemberdayaan Perempuan (Biro PP)

1)       Membuat kebijakan-kebijakan terkait PKDRT di daerah, diantaranya:

a)       Sumatera Utara: SK Gubernur tentang Pembentukan P2TP2A;=
b)       Nusa Tenggara Barat: SK Bersama Biro PP, Biro KeSos, dan Polda mengenai Penanganan Korban KDRT;
c)       Lampung : Kebijakan mengenai Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perempuan Korban Kekerasan (UPT-PKTK);

2)           Melakukan advokasi hukum, sosialisasi, dan pelatihan sensitif gender;

3)          Melakukan KIE, diantaranya melalui pengembangan model desa prima,
4)          Rumah Aman, untuk menampung korban KDRT yang mengalami trauma (ditemui di Sumut, Kalbar, dan NTB).


b.        Dinas Kesehatan.

1)         Adanya Kebijakan Departemen Kesehatan/Pusat, yakni,  Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar (Bagian dari Informasi Kesehatan Reproduksi);
2)         Melakukan sosialisasi pedoman Depkes-Pusat tersebut, melalui pelatihan untuk tenaga   kesehatan (Pasal 40 UU-PKDRT, kewajiban tenaga kesehatan);
3)         Wajib memeriksa korban sesuai standar profesi;
4)         Wajib melakukan pemulihan dan rehabilitasi korban;      
5)         Berwenang melakukan pembinaan terhadap Dinkes kabupaten/kota untuk membentuk pusat pelayanan terpadu di rumah sakit/Puskesmas
6)         Adanya kebijakan provinsi mengenai pembentukan tenaga kesehatan untuk menangani korban kekerasan (SK Gubernur).

c.          Dinas Sosial.
1)          Berkewajiban melakukan pemulihan psikososial, rehabilitasi, atau   pendampingan korban KDRT;
2)         Di Shelter:  tersedia tenaga medis dan adanya petunjuk pelaksanaan  penanganan korban
3)         Melakukan sosialisasi, KIE melalui pelatihan rutin di bidang sosial, pelatihan keterampilan kepada korban,antara lain, bidang usaha, untuk mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap pelaku. Misalnya, pada Dinas Sosial Prov. Sumatera Utara, sudah ada Buku Panduan Profesi Pekerja Sosial;
4)         Dalam penanganan korban, dapat dirujuk ke rumah penampungan (shelter), hal ini tersedia di NTB, Lampung, dan Sumut. Sedangkan di Kalbar  tersedia rumah aman untuk korban, yakni, rumah sosial perlindungan anak, ruang untuk konseling. Di Sulawesi Selatan baru akan tersedia trauma center.

d.           Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Polda.

1)         Untuk melakukan penanganan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan/anak dan KDRT;
2)         Adanya rasa nyaman/tidak menyeramkan, petugas tidak berseragam kepolisian, dipimpin oleh polisi wanita (Polwan), termasuk untuk penanganan korban juga dilakukan Polwan atau PNS perempuan;
3)         Terstruktur, di Sumatera Utara sudah terstruktur 3(tiga) tahun yang lalu, dan dampaknya positif terutama adanya motivasi yang  kuat terhadap Staf;
4)         Visi RPK: “Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan bantuan medis, psikologi, maupun hukum sampai masalah terselesaikan;
5)         Misi RPK adalah :

a)      memberikan rasa aman dan nyaman;
b)      memberikan pelayanan secara cepat, profesional, empati, dan rasa kasih;
c)      membangun jaringan kerja sama antar instansi/badal/lembaga untuk menyelesaikan masalah kekerasan  terhadap perempuan dan anak.

6)         Tugas RPK:

a)      menerima pengaduan, melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan KDRT, membuat laporan, permohonan visum jika diperlukan, dan merujuk korban ke rumah sakit;
b)      menjelaskan hak-hak korban dan merahasiakan identitasnya;
c)      memberikan konseling bagi korban yang datang dalam keadaan depresi, atau menempatkan korban ke shelter, jika perlu perlindungan. Catatan: Belum semua Polda mempunyai shelter tersendiri, untuk itu dapt korban ditempatkan di shelter milik instansi lain atau LSM/LBH;
d)      memberikan kemudahan bagi korban KDRT yang melaporkan kasusnya  dengan tujuan selain untuk memberikan pelayanan yang nyata membantu korban juga untuk menghilangkan stigma adanya prosedur yang berbelit-belit jika berurusan dengan polisi. Namun demikian, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena masyarakat masih menganggapnya sebagai aib keluarga dan mereka juga malu jika kasusnya diketahui oleh lingkungan sekitarnya;
e)      upaya bantuan hukum juga diberikan kepada korban dengan cara mendatangi korban;
f)        melakukan tindakan tegas bagi pelaku yang yang telah melakukan kekerasan fisik  dalam hal korban menderita cacat, dengan terus  memproses kasusnya walau korban menarik laporannya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan karena dampak yang diderita korban, dan kasus tersebut juga bukan delik aduan seingga dengan meneruskannya ke pengadilan diharapkan pelaku menjadi jera dan memberi efek pada penurunan kasus;
g)       sosialisasi KDRT di lingkungan ibu-ibu bhayangkari dan masyarakat langsung bekerja sama dengan Biro PP, dengan harapan adanya pemahaman yang sama terhadap masalah KDRT dan dampak  yang dialami akibat adanya KDRT.

e.          Rumah Sakit.

1)      Fokus untuk pelayanan medis bagi korban KDRT, di samping juga    memberikan pelayanan konseling bagi korban yang memerlukannya;   
2)      Harus membentuk pusat pelayanan terpadu/PPT, pada RS.Bhayangkara di Polda   sudah terbentuk PPT, kecuali di  Kalimantan Barat yaitu di RS Pemda dan Lampung sudah memiliki kebijakan khusus untuk pembentukan PPT sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT;
3)      Pihak rumah sakit telah mengeluarkan kebijakan mengenai prosedur penanganan medis, agar korban ditangani sesuai prosedur dan standar profesi;
4)      Rumah sakit yang sudah memiliki PPT tidak memungut biaya penanganan medis termasuk visum et repertum, jika korban telah mendapat rujukan dari instansi/lembaga yang menangani;
5)      Tidak membedakan korban yang mampu atau tidak mampu, namun di Lampung terhadap korban yang mampu biasanya dirawat di RS.Swasta;
6)      RS. Bhayangkara memberikan advokasi hukum kepada korban yang membutuhkan, bekerja sama dengan LBH. Bahkan di  Sulawesi Selatan meski dengan sarana terbatas, telah memiliki rumah aman, untuk memulihkan psikis korban dan tempat perlindungan korban.

f.             Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Bantua Hukum (LSM/LBH)

1)      Lembaga yang dikunjungi adalah LBH APIK, kecuali di Lampung LSM Damar. Kasus-kasus yang ditangani sekitar kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk korban KDRT;
2)      Penanganan yang diberikan kepada korban, diantaranya dengan  pemberian penjelasan tentang hak-hak korban utnuk selalu didampingi pada setiap proses pemeriksaan dan pengadilan jika kasusnya berlanjut ke meja hijau.
3)      Merahasiakan informasi dan dentitas korban, dengan fasilitasi perlindungan di shelter jika memang dibutuhkan (misalnya, di Sumut, Kalbar, Lampung, dan NTB);
4)      Memberikan bimbingan rohani bagi korban yang dalam kondisi mental tertekan;
5)      Melakukan sosialisasi (melalui brosur, leaflet, pamflet), pelatihan untuk peningkatan staf dan relawan guna memulihkan kondisi korban;
6)      Beberapa kasus yang ditangani, diantaranya kasus penelantaran rumah tangga atas korban yang berstatus kawin siri (Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat). Kendala yang dialaminya, sulit mencari bukti berupa surat keterangan RT/RW atau pernyataan saksi yang menghadiri pernikahan, maka untuk penyelesaian kasusnya lebih  dianjurkan agar korban dan pelaku untuk berdamai (Sumatera Utara). Dalam hal kasusnya adalah kekerasan fisik, maka untuk bukti visum digunakan  pasal KUHP untuk menjerat pelaku.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar