Senin, 07 Mei 2012

Permasalahan Umum Kesehatan Anak Usia Sekolah


Orang tua dan guru adalah sosok pendamping saat anak melakukan aktifitas kehidupannya setiap hari. Peranan mereka sangat dominan dan sangat menentukan kualitas hidup anak di kemudian hari. Sehingga sangatlah penting bagi mereka untuk mengetahui dan memahami permasalahan dan gangguan kesehatan pada anak usia sekolah yang cukup luas dan kompleksUsia anak adalah periode yang sangat menentukan kualitas seorang manusia dewasa nantinya. Saat ini masih terdapat perbedaan dalam penentuan usia anak. Menurut UU no 20 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan WHO yang dikatakan masuk usia anak adalahsebelum usia 18 tahun dan yang belum menikah. American Academic of Pediatric tahun 1998 memberikan rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak yaitu mulai dari fetus (janin) hingga usia 21 tahun. Batas usia anak tersebut ditentukan berdasarkan pertumbuhan fisik dan psikososial, perkembangan anak, dan karakteristik kesehatannya. Usia anak sekolah dibagi dalam usia prasekolah, usia sekolah, remaja, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses perkembangan sudah lengkap.
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah
Pengertian tumbuh kembang anak sebenarnya mencakup 2 hal kondisi yang berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan. Hal ini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Pertumbuhan berdampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ dan individu. Kedua kondisi tersebut terjadi sangat berkaitan dan saling mempengaruhi dalam setiap anak.

Interaksi Sosial sebagai Faktor Utama dalam Kehidupan Sosial


Hubungan antar manusia, ataupun relasi-relasi sosial menentukan struktur dari masyarakatnya. Hubungan antar manusia atau relasi-relasi sosial ini di dasarkan kepada komunikasi. Karenanya Komunikasi merupakan dasar dari existensi suatu masyarakat. Hubungan antar manusia atau relasi-relasi sosial, hubungan satu dengan yang lain warga-warga suatu masyarakat, baik dalam bentuk individu atau perorangan maupun dengan kelompok-kelompok dan antar kelompok manusia itu sendiri, mewujudkan segi dinamikanya perubahan dan perkembangan masyarakat. Apabila kita lihat komunikasi ataupun hubungan tersebut sebelum mempunyai bentukbentuknya yang konkrit, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial di dalam suatu masyarakat, ia mengalami suatu proses terlebih dahulu. Proses-proses inilah yang dimaksudkan dan disebut sebagai proses sosial. 

Sehingga Gillin & Gillin mengatakan bahwa: Proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut, atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Dilihat dari sudut inilah, komunikasi itu dapat di Pandang sebagai sistem dalam suatu masyarakat, maupun sebagai proses sosial. Dalam komunikasi, manusia saling pengaruh-mempengaruhi timbal balik sehingga terbentuklah pengalaman ataupun pengetahuan tentang pengalaman masing-masing yang sama. Karenanya Komunikasi menjadi dasar daripada kehidupan sosial ia, ataupun proses sosial tersebut.
Kesadaran dalam berkomunikasi di antara warga-warga suatu masyarakat, menyebabkan suatu masyarakat dapat dipertahankan sebagai suatu kesatuan. Karenanya pula dalam setiap masyarakat terbentuk apa yang di namakan suatu sistem komunikasi. Sistem ini terdiri dari lambang-lambang yang diberi arti dan karenanya mempunyai arti-arti khusus oleh setiap masyarakat. Karena kelangsungan kesatuannya dengan jalan komunikasi itu, setiap masyarakat dapat. membentuk kebudayaannya, berdasarkan sistem komunikasinya masing-masing.
Dalam masyarakat yang modern, arti komunikasi menjadi lebih penting lagi, karena pada umumnya masyarakat yang modern bentuknya makin bertarnbah rasionil dan lebih di dasarkan pada lambang-lambang yang makin abstrak. Bentuk umum proses-proses sosial adalah interaksi sosial, dan karena bentuk-bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dairi interaksi, maka interaksi sosial yang dapat dinamakan proses sosial itu sendiri. Interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Gillin dan Gillin mengajukan dua syarat yang harus di penuhi agar suatu interaksi sosial itu mungkin terjadi, yaitu:
  1. Adanya kontak sosial (social contact)
  2. Adanya komunikasi.
Dengan demikian kontak merupakan tahap pertama terjadinya suatu interaksi sosial. Dapat di katakan bahwa urituk terjadinya suatu kontak, tidak perlu harus terjadi secara badaniah seperti arti semula kata kontak itu sendiri yang secara harfiah berarti “bersama-sama menyentuh”. Manusia sebagai individu dapat mengadakan kontak tanpa menyentuhnya tetapi sebagai makhluk sensoris dapat melakukannya dengan berkomunikasi. Komunikasi sosial ataupun “face-to face” communication, interpersonal communication, juga yang melalui media. Apalagi kemajuan teknologi komunikasi telah demikian pesatnya.
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu tidak hanya antara individu dan individu sebagai bentuk pertamanya saja, tetapi juga dalam bentuk kedua, antara individu dan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. Bentuk ketiga, antara sesuatu kelompok manusia dengan kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Suatu kontak sosial tidak hanya tergantung Bari tindakan ataupun kegiatan saja, tetapi juga dari tanggapan atau response reaksi, juga feedback terhadap tindakan atau kegiatan tersebut.
Kontak sosial dapat bersifat positif, apabila mengarah kepada suatu kerjasama (cooperation). Dan dapat bersifat negatif apabila mengarah kepada suatu pertentangan (conflict), atau bahkan lama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

Tolong diisi surveynya ya:
http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/ 

Etika dan Profesionalitas Polisi


Berbicara tentang etika maka tidak terlepas dari perilaku dan tindakan manusia yang terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada masyarakat.

Sedangkan kepolisian pada intinya merupakan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan keamanan masyarakat. Sehingga dengan adanya etika kepolisian mampu dijadikan barometer oleh pihaknya untuk menjadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum.

Memang Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang beretika, jujur, bersih, dan mengayomi masyarakat. Tetapi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalan etika kepolisian.

Etika sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi sosial dan lingkungan dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan etika kepolisian yang tidak mantap, merupakan faktor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan jati diri yang sejati.

Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakat.

Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik. Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam.

Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police Cultura) yang dominan pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya.

Profesionalitas

Sejarah panjang telah membentuk kepolisian Indonesia yang menjadi polri pada saat ini. Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang telah dicapai polisi, telah terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak keamanan yang mengantar pembangunan Bangsa dan Negara. Polisi terus berjuang keras, karena belum mampu menjawab tuntutan pelayanan masyarakat yang meningkat cepat sebagai hasil pembangunan, sedangkan kemampuan polisi nyaris tidak berkembang, celaan, cemoohan serta tudingan bahwa polisi tidak profesional.

Ketidak profesinalan pihak kepolisian tercermin dari berbagai aksi yang dilakukan, seperti adanya kasus mafia peradilan dan tindakan suap menyuap selama ini. Hal tersebutlah menjadi rujukan masyarakat luas bahwa pihak kepolisian kita belumlah profesional betul dalam menjalankan tugasnya. Hemat penulis setidaknya ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan profesionalisme seorang polisi.

Pertama, adalah faktor human resources atau sumber daya manusia (SDM). Membicarakan SDM kita tak bisa melepaskan diri dari proses rekrutmen anggota polisi. Hanya melalui rekrutmen yang baik dan transparanlah dapat diharapkan dihasilkannya anggota polisi yang baik.

Sayangnya, seakan telah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa jika ingin menjadi polisi, orang haruslah menyetor sejumlah uang tertentu kepada para pengambil kebijakan rekrutmen. Memasuki dunia kepolisian bagi polisi dengan melalui cara demikian menjadi tak ubahnya memasuki dunia bisnis. Ini tentu bukan sesuatu yang baik, karena polisi bekerja bukan berdasar logika untung rugi, akan tetapi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Visi Misinya.

Kedua, adalah faktor keteladanan. Pendidikan dan latihan di bidang kepolisian telah dirancang sedemikian rupa untuk membentuk seorang warga negara menjadi polisi yang mampu menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

Namun demikian, apa yang sudah diterima dalam tahap pendidikan dan latihan itu tidaklah dengan serta merta akan membentuk karakter seorang polisi yang diidealkan. Seorang polisi terikat oleh hierarki komando yang ketat. Dalam konteks relasi bawahan dan atasan ini, keteladanan memegang peranan penting dalam pembentukan watak seorang polisi.

Jika sang atasan tak mampu memberikan teladan yang baik, ia akan ditiru oleh anak buah, atau setidaknya menjadi justifikasi bagi polisi muda bahwa senior mereka pun melakukan hal yang sama.

Ketiga adalah berkaitan dengan faktor kedisiplinan. Membicarakan kedisiplinan polisi akan terkait erat dengan prosedur dan mekanisme pemberian sanksi kepada mereka yang terbukti tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Pemberian sanksi tentunya disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan dan memperhatikan tujuan pemberian sanksi, yakni efek jera bagi yang melanggar maupun sebagai peringatan bagi anggota polisi yang lain.

Terbentuknya etika dan profesionalitas seorang penegak hukum, tentu saja pemulihan nama baik dalam hati publik akan terwujud. Sehingga tetap di percaya sebagai garda depan bangsa ini.

Tolong diisi surveynya ya: http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN


A. Pengertian Sosialisasi  

Manusia berbeda dari binatang. Perilaku pada binatang dikendalikan oleh instink/naluri yang
merupakan bawaan sejak awal kehidupannya. Binatang tidak menentukan apa yang harus
dimakannya, karena hal itu sudah diatur oleh naluri. Binatang dapat hidup dan melakukan
hubungan berdasarkan nalurinya.
Manusia merupakan mahluk tidak berdaya kalau hanya mengandalkan nalurinya. Naluri
manusia tidak selengkap dan sekuat pada binatang. Untuk mengisi kekosongan dalam
kehidupannya manusia mengembangkan kebudayaan. Manusia harus memutuskan sendiri
apa yang akan dimakan dan juga kebiasaan-kebiasaan lain yang kemudian menjadi bagian
dari kebudayaannya. Manusia mengembangkan kebiasaan tentang apa yang dimakan,
sehingga terdapat perbedaan makanan pokok di antara kelompok/masyarakat.  Demikian juga
dalam hal hubungan antara laki-laki dengan perempuan, kebiasaan yang berkembang dalam
setiap kelompok menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan dan kekerabatan yang
berbeda satu dengan lainnya.
Dengan kata lain, kebiasaan-kebiasaan pada manusia/masyarakat diperoleh melalui proses
belajar, yang disebut sosialisasi. Berikut beberapa definisi mengenai sosialisasi.

Peter L. Berger:
Sosialisasi adalah proses dalam mana seorang anak belajar menjadi seseorang yang
berpartisipasi dalam masyarakat.  Yang dipelajari dalam  sosialisasi adalah peran-peran,
sehingga teori sosialisasi adalah teori mengenai peran (role theory).



Robert M.Z. Lawang:
Sosialisasi adalah proses mempelajari nilai, norma, peran dan persyaratan lainnya yang
diperlukan untuk memungkinkan seseorang dapat  berpartisipasi secara efektif dalam
kehidupan sosial.

Horton dan Hunt:
Suatu proses yang terjadi ketika seorang individu menghayati nilai-nilai dan norma-norma
kelompok di mana ia hidup sehingga terbentuklah kepribadiannya.
Dalam proses sosialisasi terjadi paling tidak tiga proses, yaitu: (1) belajar nilai dan norma
(sosialisasi), (2) menjadikan nilai dan norma yang dipelajari tersebut sebagai milik diri (internalisasi), dan membiasakan tindakan dan perilaku sesuai dengan nilai dan norma
yang telah menjadi miliknya (enkulturasi).

B. Fungsi Sosialisasi
1. Bagi individu: agar dapat hidup secara wajar dalam kelompo/masyarakatnya, sehingga
tidak aneh dan diterima oleh warga masyarakat lain serta dapat berpartisipasi aktif
sebagai anggota masyarakat
2. Bagi masyarakat: menciptakan keteraturan sosial melalui pemungsian sosialisasi sebagai
sarana pewarisan nilai dan norma serta pengendalian sosial.

C. Macam-macam Sosialisasi
1. Berdasarkan berlangsungnya: sosialisasi yang disengaja/disadari dan tidak
disengaja/tidak disadari. 
Sosialisasi yang disengaja/disadari: Sosialisasi yang dilakukan secara sadar/disengaja:
pendidikan, pengajaran, indoktrinasi, dakwah, pemberian petunjuk, nasehat, dll.

Sosialisasi yang tidak disadari/tidak disengaja: perilaku/sikap sehari-hari  yang
dilihat/dicontoh oleh pihak lain, misalnya perilaku sikap seorang ayah ditiru oleh anak
laki-lakinya,  sikap seorang ibu ditiru oleh anak perempuannya, dst.
2. Menurut status pihak yang terlibat: sosialisasi equaliter dan otoriter.
Sosialisasi equaliter berlangsung di antara orang-orang yang kedudukan atau statusnya
relatif sama, misalnya di antara teman, sesama murid, dan lain-lain, sedangkan sosialisasi
otoriter berlangsung di antara pihak-pihak yang status/kedudukannya berbeda misalnya
berlangsung antara orangtua dengan anak, antara guru dengan murid, antara pimpinan
dengan pengikut, dan lain-lain.
3. Menurut tahapnya: sosialisasi primer dan sekunder.
Sosialisasi primer dialami individu pada masa kanak-kanak, terjadi dalam lingkungan
keluarga, individu tidak mempunyai hak untuk memilih agen sosialisasinya, individu
tidak dapat menghindar untuk menerima dan menginternalisasi cara pandang keluarga
Sosialisasi sekunder berkaitan dengan ketika individu mampu untuk berinteraksi dengan
orang lain selain keluarganya.
4. Berdasarkan caranya: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris.
Apabila  mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi , terdapat dua pola, yaitu
represif,  dan partisipatoris.
Sosialisasi Represif menekankan pada:
(1) penggunaan hukuman,
(2) memakai materi dalam hukuman dan imbalan,
(3) kepatuhan anak pada orang tua,
(4) komunikasi satu arah (perintah),
(5) bersifat nonverbal,
(6) orang tua sebagai pusat sosialisasi sehingga keinginan orang tua menjadi penting, dan
(7) keluarga menjadi significant others

Sedangkan sosialisasi partisipatoris menekankan pada
(1) individu diberi imbalan jika berkelakuan baik,
(2) hukuman dan imbalan bersifat simbolik,
(3) anak diberi kebebasan,
(4) penekanan pada interaksi,
(5) komunikasi terjadi secara lisan/verbal,
(6) anak pusat sosialisasi sehingga keperluan anak dianggap penting, dan
(7) keluarga menjadi generalized others.
D. Tahap-tahap Sosialisasi

George Herbert Mead  menjelaskan bahwa diri manusia berkembang secara bertahap
melalui interaksinya dengan anggota masyarfakat yang lain, mulai dari play stage, game
stage, dan generalized other.
Tahap 1:  Preparatory
• Dalam tahap ini individu meniru perilaku orang-orang  yang ada  di sekitarnya, tetapi
belum mampu memberi makna apapun pada tindakan yang ditiru.
• Merupakan peniruan murni.
Tahap 2: Play Stage
Play Stage, atau tahap permainan, anak mulai memberi makna terhadap perilaku yang ditiru.
Mulai mengenal bahasa. Mulai mendefinisikan siapa dirinya (identifikasi diri) sebagaimana
definisi yang diberikan oleh significant other.
Significant other merupakan orang yang secara nyata penting bagi seseorang dalam proses
sosialisasi. Bagi anak-anak dalam tahap  play stage, orangtua merupakan  significant other. 
Bahkan, anak-anak tidak dapat memilih siapa significant other-nya!
Ketika ada yang menyapa: “Hi, Agus”, maka anak mengerti: “Oh – aku Agus”. “Hi, Pintar”.
“Oh, aku pintar”. “Bodoh banget kamu”. “Oh, aku bodoh banget”, dan setertusnya. Definisi
diri pada tahap ini  sebagaimana yang diberikan oleh significant other.
Tahap 3 Game Stage
• Tahap ini berbeda dari tahap permainan, karena tindakan meniru digantikan dengan
tindakan yang disadari.
• Tidak hanya mengetahui peran yang dijalankannya, tetapi juga peran orang lain dengan
siapa ia berinteraksi.
• Bisakah Anda membedakan antara “bermain bola” dengan “pertandingan sepakbola”?
Bermain bola dapat dilakukan oleh anak-anak pada yang telah mengalami sosialisasi
tahap play stage, tetapi bertanding sepakbola baru dapat dilakukan oleh anak-anak yang
telah mengalami sosialisasi pada tahap game stage. Mengapa demikian? Karena dalam
pertandingan sepakbola ada prosedur dan tatacara yang harus ditaati. Anak-anak akan

memahami tentang prosedur dan tatacara apabila telah mengalami sosialisasi pada tahap
game stage.
Tahap 4:  Generalized Other
Pada tahap ini individu telah mampu mengambil peran yang dijalankan oleh orang-orang
dalam masyarakatnya, ia telah mampu berinteraksi dan memainkan perannya dengan
berbagai macam orang dengan status, peran dan harapan yang berbeda-beda dalam
masyarakatnya.

E. Agen-agen Sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi. Dapat juga disebut
sebagai media sosialisasi.
Jacobs dan Fuller (1973), mengidentifikasi empat agen utama sosialisasi, yaitu: (1)
keluarga, (2) kelompok pertemanan, (3) lembaga pendidikan, dan (4) media massa.  Para ahli
sosiologi menambahkan juga peran dan pengaruh dari lingkungan kerja.
1. Keluarga sebagai agen/media sosialisasi
Keluarga merupakan satuan sosial yang didasarkan pada hubungan darah (genealogis),
dapat berupa keluarga inti  (ayah, ibu, dan atau tanpa anak-anak baik yang dilahirkan
maupun diadopsi), dan keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri atas lebih dari satu
keluarga inti yang mempunyai hubungan darah baik secara hirarkhi maupun horizontal.
Nilai dan norma yang disosialisasikan di keluarga adalah nilai norma dasar yang
diperlukan oleh seseorang agar nanti dapat berinteraksi dengan orang-orang dalam
masyarakat yang lebih luas.
Pihak yang terlibat (significant other):
Pada keluarga inti: ayah, ibu saudara kandung, pada keluarga luas: nenek, kakek, paman,
bibi, pada masyarakat menengah perkotaan sejalan dengan meningkatnya partisipasi kerja
perempuan: baby sitter, pembantu rumah tangga, petugas pada penitipan anak, guru pada
play group, dll.
2. Kelompok pertemanan sebagai agen/media sosialisasi
Dalam lingkungan teman sepermainan lebih banyak sosialisasi yang berlangsung
equaliter, seseorang belajar bersikap dan berperilaku terhadap orang-orang yang setara
kedudukannya, baik tingkat umur maupun pengalaman hidupnya.
Melalui lingkungan teman sepermainan seseorang mempelajari nilai-nilai dan normanorma dan interaksinya dengan orang-orang lain yang bukan anggota keluarganya. Di
sinilah seseorang belajar mengenai berbagai keterampilan sosial, seperti kerjasama,
mengelola konflik, jiwa sosial, kerelaan untuk berkorban, solidaritas, kemampuan untuk
mengalah dan keadilan. Di kalangan remaja kelompok sepermainan dapat berkembang
menjadi kelompok persahabatan dengan frekuensi dan intensitas interaksi yang lebih
mantap. Bagi seorang remaja, kelompok persahabatan dapat berfungsi sebagai penyaluran berbagai perasaan dan aspirasi, bakat, minat serta perhatian yang tidak
mungkin disalurkan di lingkungan keluarga atau yang lain.

Peran positif kelompok sepermainan/persahabatan:
 memberikan rasa aman dan rasa yang dianggap penting dalam kelompok yang
·
berguna bagi pengembangan jiwa
 menumbuhkan dengan baik kemandirian dan kedewasaan
·
 tempat yang baik untuk mencurahkan berbagai perasaaan: kecewa, takut, kawatir,
·
suka ria, dan sebagainya, termasuk cinta.
 Merupakan tempat yang baik untuk mengembangkan ketrampilan sosial: kemampuan
·
memimpin, menyamakan persepsi, mengelola konflik, dan sebagainya
Tentu saja ada peran kelompok persahabatan yang negatif, seperti perilaku-perilaku yang
berkembang di lingkungan delinquen (menyimpang), misalnya gang.
3. Sistem/lingkungan pendidikan sebagai agen/media sosialisasi
Dilingkungan pendidikan/sekolah anak mempelajari sesuatu yang baru yang belum
dipelajari dalam keluarga maupun kelompok bermain, seperti kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung.
Lingkungan sekolah terutama untuk sosialisasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi
serta nilai-nilai kebudayaan yang dipandang luhur dan akan dipertahankan
kelangsungannya dalam masyarakat melalui pewarisan (transformasi) budaya dari
generasi ke generasi berikutnya.
Fungsi sekolah sebagai media sosialisasi antara lain:
 mengenali dan mengembangkan karakteristik diri (bakat, minat dan kemampuan)
·
 melestarikan kebudayaan
·
 merangsang partisipasi demokrasi melalui pengajaran ketrampilan berbicara dan
·
pengembangan kemampuan berfikir kritis, analistis, rasional dan objektif
 memperkaya kehidupan dengan cakrawala intelektual serta cita rasa keindahan
·
 mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri dan kemandirian
·
 membelajarkan tentang hidup sehat, prestasi, universalisme, spesifisitas, dll.
·
4. Sistem/lingkungan kerja sebagai agen/media sosialisasi
Di lingkungan kerja seseorang juga belajar tentang nilai, norma dan cara hidup. Tidaklah
berlebihan apabila dinyatakan bahwa cara dan prosedur kerja di  lingkungan militer
berbeda dengan di lingkungan sekolah atau perguruan tinggi. Seorang anggota tentara
akan bersosialisasi dengan cara kerja lingkungan militer dengan garis komando yang
tegas. Dosen atau guru lebih banyak bersosialisasi dengan iklim kerja  yang lebih
demokratis

5. Peran media massa
Para ilmuwan sosial telah banyak membuktikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan
melalui media massa (televisi, radio, film, internet, surat kabar, makalah, buku, dst.)
memberikan pengaruh bagi perkembangan diri seseorang, terutama anak-anak.
Beberapa hasil penelian menyatakan bahwa sebagaian besar waktu anak-anak dan remaja
dihabiskan untuk menonton televisi, bermain  game online dan berkomunikasi melalui
internet, seperti yahoo messenger, google talk, friendster, facebook, dll.
Diakui oleh banyak pihak bahwa media massa telah berperan dalam proses homogenisasi,
bahwa akhirnya masyarakat dari berbagai belahan dunia memiliki struktur dan
kecenderungan cara hidup yang sama.
F. Desosialisasi dan Resosialisasi
Beberapa lembaga yang ada dalam masyarakat berfungsi melaksanakan proses resosialisasi
terhadap anggota masyarakat yang perilakunya tidak sesuai harapan sebagian besar warga
masyarakat (baca: menyimpang), dari yang penyimpangannya berkadar ringan sampai yang
berat.
Lembaga yang dimaksud antara lain: penjara, rumah singgah, rumah sakit jiwa, pendiidkan
militer,  dan sebagainya. Di lembaga-lembaga itu nilai-nilai dan cara hidup yang telah
menjadi milik diri seseorang, karena tidak sesuai dengan nilai dan norma serta harapan
sebagian besar warga masyarakat,  dicabut  (desosialisasi) dan digantikan dengan nilai-nilai
dan cara hidup baru yang  sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat. Proses
penggantian nilai dan cara hidup lama dengan nilai dan cara hidup baru ini disebut
resosialisasi.
G. Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian
Kepribadian atau personalitas dapat didefinisikan sebagai ciri watak seorang individu yang
konsisten memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khas. Kepribadian
merupakan organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis, yang unsurunsurnya adalah: pengetahuan, perasaan, dan naluri.
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan unsur yang mengisi akal-pikiran seseorang yang sadar, merupakan
hasil dari pengalaman inderanya atau reseptor organismanya. Dengan pengetahuan dan
kemampuan akalnya manusia menjadi mampu  membentuk konsep-konsep, persepsi, idea
atau gagasan-gagasan.
2. Perasaan
Kecuali pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam perasaan,
yaitu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilainya
sebagai positif atau negatif. Perasaan bersifat subjektif dalam diri manusia dan mampu
menimbulkan kehendak-kehendak.
3. Dorongan naluri (drive)

Naluri merupakan perasaan dalam diri individu yang bukan ditimbulkan oleh pengaruh
pengetahuannya, melainkan sudah terkandung dalam organisma atau gennya.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian
Perempuan-perempuan cantik sering tampak lebih tenang dan percaya diri daripada mereka
yang bermuka kurang cantik. Mengapa demikian? Apakah sikap tenang dan percaya diri
merupakan hal yang taken from granted sejak kelahirannya? Ataukah hal ini merupakan hasil
dari suatu proses belajar? Adalah kenyataan bahwa para perempuan cantik lebih dapat
diterima dan diperlakukan secara lebih baik –bahkan dapat jadi diistimewakan- oleh banyak
pihak daripada mereka yang kurang cantik! Penerimaan dan perlakuan yang baik di setiap
lingkup dan situasi sosial ini menjadi pengalaman belajar para perempuan cantik, sehingga
pada akhirnya menjadi lebih percaya diri.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian, antara lain:
1. Warisan biologis (misalnya bentuk tubuh, apakah endomorph/gemuk bulat,
ectomorph/kurus tinggi, dan mesomorph/atletis. Dari beberapa penelitian diketahui
bahwa mesomorph lebih berpeluang melakukan tindakan-tindakan, termasuk berperilaku
menyimpang dan melakukan kejahatan)
2. Lingkungan fisik/alam (tempat kediaman seseorang, apakah seseorang berdiam di
pegunungan, dataran rendah, pesisir/pantai, dst. akan mempengaruhi kepribadiannya)
3. Faktor lingkungan kultural (Kebudayaan masyarakat), dapat berupa:
a. kebudayaan khusus kedaerahan atau etnis (Jawa, Sunda, Batak, Minang, dst.)
b. cara hidup yang berbeda antara desa (daerah agararis-tradisional) dengan kota
(daerah industri-modern)
c. kebudayaan khusus kelas sosial (ingat: kelas sosial buka sekedar kumpulan dari
orang-orang yang  tingkat ekonomi, pendidikan atau derajat sosial yang sama,
tetapi lebih merupakan gaya hidup)
d. kebudayaan khusus karena perbedaan agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Budha, dan lain-lain)
e. pekerjaan atau keahlian (guru, dosen, birokrat, politisi, tentara, pedagang,
wartawan, dll.)
4. Pengalaman kelompok (lingkungan sosial): dengan siapakah seseorang bergaul dan
berinteraksi akan mempengaruhi kepribadiannya
5. Pengalaman unik (misalnya sensasi-sensasi ketika seseorang dalam situasi jatuh cinta)


Tolong diisi surveynya ya: http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/

Stabilitas Sosial Politik


Sejak awal Pak Harto mencanangkan landasan dan tonggak-tonggak kebijakannya yang sangat tegas, padat dan memang merupakan pondasi yang kokoh, yaitu Trilogi Pembangunan.
Salah satu pondasi, dan menurut saya yang terpenting adalah Stabilitas Sosial Politik. Tanpa ketenangan dan kepastian tidak mungkin kita merencanakan dan melakukan apapun.
Namun stabilitas sosial politik saja adalah bangunan kokoh yang belum ada isinya. Karena itu, rumah yang kokoh ini bisa diisi dengan hal-hal yang busuk. Saya khawatir bahwa sejarah akan mencatat era Orde Baru sebagai kehidupan negara bangsa kita yang berlangsung dalam rumah yang kokoh, tetapi kehidupan bernegara dan berbangsa berlangsung dengan menanamkan benih-benih yang sekarang secara sepenuhnya menjadi malapetaka yang membuat kehidupan kita bagaikan tanpa arah, tanpa moral, chaos dan anarki.
Bidang ekonomi telah saya kemukakan dalam tiga buah artikel sebelumnya.
Dalam bidang stabilitas, ciri pokoknya ialah pemerintahan tangan besi yang diktatorial, menanamkan rasa takut dan bersifat represif. Penanganan yang demikian untuk kondisi yang kalut setelah peristiwa dan kerusuhan G-30-S memang sangat dibutuhkan, dan memang terbukti sangat kondusif dan berhasil pada tahap-tahap awalnya.
Buat mereka yang tidak peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, melainkan hanya ingin hidup tenteram, serba kecukupan dan sejahtera, serta tidak mempunyai kebutuhan memperoleh kebebasan menyatakan pendapat dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaraan negara, stabilitas yang demikian dirasa nyaman. Lebih nyaman lagi buat mereka yang sedang memegang kekuasaan. Kenyamanan inilah yang menjadi batu ujian, apakah stabilitas dipakai untuk kepentingan dirinya sendiri (power tends to corrupt) ataukah kekuasaan dihayati sebagai amanah yang harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya secara adil dan beradab.
Kalau yang terakhir ini yang menjadi tujuan dari kekuasaan, kita seharusnya segera menyadari bahwa kebebasan yang bertanggung jawab adalah kebutuhan hakiki manusia. Maka pemerintahan tangan besi yang diktatorial dan represif tidak dapat bertahan selama-lamanya. Karena itu, pemerintahan tangan besi dibutuhkan untuk mengembalikan kekalutan pada ketertiban, dan sangat diperlukan guna melakukan pembangunan selama rakyatnya masih belum dapat menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab. Sehingga sambil membangun secara perlahan dan terencana rakyat harus dididik, dimatangkan jiwanya dengan maksud memberikan pemahaman bahwa kebebasan tanpa rasa tanggung jawab hanya akan mengakibatkan kekalutan dan anarki.
Yang berlangsung selama Orde Baru ialah kurang atau hampir tiadanya kebijakan pendidikan politik kepada rakyat kita yang tujuannya adalah mendemokrasikan kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara bertanggung jawab dan beradab.
Setelah 32 tahun memang ternyata rakyat tidak dapat menahan lebih lama lagi pemerintahan tangan besi yang opresif, sehingga pecahlah gejolak yang mengakibatkan lengsernya Pak Harto.
Dr. BJ Habibie sebagai penerusnya Pak Harto melakukan politik bandul. Dari pemerintahan tangan besi yang otoriter, Presiden Habibie memberlakukan kebijakan politik yang sangat ekstrem bebasnya.
Timor Timur dilepas dalam waktu sangat singkat tanpa memperhitungkan sama sekali reaksi yang dapat ditimbulkan pada para prajurit kita yang mempertaruhkan jiwanya selama 21 tahun, yang menyaksikan rekan-rekannya tewas dicincang dengan cara-cara yang sangat kejam dan biadab dalam pertempurannya melawan Fretillin. Kita tidak membutuhkan pengetahuan psikologi untuk memahami bahwa setelah 21 tahun lamanya disuruh mati-matian, memberikan jiwa raganya mempertahankan Timor Timur, dan lantas mendadak disuruh meninggalkannya supaya menjadi negara merdeka yang lepas dari NKRI, setiap manusia akan sangat gusar yang pelampasiannya bisa mengambil bentuk yang sangat dahsyat.
Inilah yang terjadi dengan Timor Timur, yang sambil menarik diri, sambil melakukan bumi hangus. Tidak ada satupun bangunan yang utuh di Dilli seperti yang dikeluhkan oleh Xanana Gusmao kepada Gus Dur di Istana Merdeka yang saya hadiri. Ketika itu saya berkesempatan menjelaskan kepada Xanana bahwa pembumi-hangusan Timtim sebagai akibat kebijakan yang ekstrem seperti yang dilakukan oleh Habibie atas tekanan PBB sudah diramalkan oleh Ibu Megawati (ketika itu hanya Ketua Umum PDIP, belum Wapres atau Presiden). Ceriteranya adalah sebagai berikut,
Wakil Sekjen PBB yang khusus ditugasi untuk referendum di Timtim, Jamseed Marker selalu mengajak diskusi dengan Ibu Mega yang minta didampingi oleh Laksamana Sukardi dan saya. Demikian juga dengan Menlu Australia Alexander Downer. Ketika ditanya pendapatnya tentang referendum di Timtim beserta jadwal waktunya, Megawati selalu mengingatkan tentang reaksi yang bisa timbul dari para prajurit yang 21 tahun lamanya disuruh mempertahankan Timtim sebagai bagian dari NKRI dengan seluruh jiwa raganya.
Ternyata Megawati benar. Pembumi-hangusan Timtim berlangsung spontan, bukan atas perintah Jenderal Wiranto yang ketika itu menjabat sebagai PANGAB. Beliau sendiri terkejut, taken by surprise oleh pembumi-hangusan Timtim oleh para prajurit kita. Justru Megawati yang bisa merasakan sebelumnya.
Saya kemukakan ini untuk membagi pendapat saya dengan para pembaca tentang kekurangan yang mendasar dari politik stabilisasi era Orde Baru. Kekurangan itu adalah rencana mendemokrasikan secara bertahap. Kekurangan itu adalah jiwa besar yang secara sangat sadar melepaskan kekuasaannya yang absolut secara setahap demi setahap ke arah demokrasi sambil memberikan pendidikan, bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab.
Tidak ada orang yang mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, setelah kita memasuki era dan suasana yang dinamakan “reformasi” adalah baik dan nyaman, serta berjalan sebagaimana mestinya seperti yang kita inginkan bersama. Semua pemimpin dipilih secra langsung melalui Pilkada di mana-mana. Setiap 3 hari ada satu Pilkada yang keseluruhannya sampai sekarang telah menelan biaya Rp. 200 trilyun. Kebanyakan Pilkada mengakibatkan perkelahian oleh pihak-pihak yang tidak dapat menerima pemenangnya. Kehidupan bernegara kita menjadi chaos dan anarkis.
Mengapa? Kita ibaratkan rakyat Indonesia adalah puluhan juta per (pegas) yang sangat kuat. Per-per ini ditindas oleh lempengan-lempengan besi yang masing-masing setebal 10 cm. Memberi kelonggaran kepada per-per yang tertindas supaya bisa mekar secara teratur dan terkendali ialah dengan cara mengambil satu lempengan. Dengan demikian, per-per itu bergerak naik, memperoleh ruang setebal 10 cm. Kita saksikan dan rasakan apakah kebebasan yang 10 cm ini sudah bisa dinikmati dengan tanggung jawab yang sepadan. Setelah itu kita ambil satu lempeng lagi, sehingga kebebasannya menjadi 20 cm. Maka ketika kebebasan sudah dianggap memadai, per-per tersebut tetap di tempat masing-masing, tetapi dalam suasana yang bebas dan demokratis.
Yang dilakukan oleh pimpinan bangsa, baik legislatif maupun eksekutifnya ketika memasuki era reformasi ialah dengan sekaligus mengambil seluruh lempengan besi yang menekan dan menindas berpuluh juta per itu, sehingga serta merta puluhan juta per yang tidak lain adalah rakyat Indonesia (atau sebagian dari rakyat yang vokal dan aktif) itu berlompatan ke semua penjuru tanpa arah, tanpa kendali dan tanpa tujuan. Akibatnya yang terjadi adalah chaos dan anarki. Itulah yang sedang kita alami sekarang, dan yang setiap harinya semakin parah.
Ironisnya, dalam situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita seperti ini, orang mulai mendambakan adanya pemerintahan yang kuat. Dalam berbagai percakapan dan diskusi, yang diartikan dengan pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan tangan besi yang otoriter, karena kondisi seperti ini hanya dapat ditertibkan melalui tangan besi terlebih dahulu.
Tetapi elit kita tidak bodoh. Maka sambil mengatakan bahwa kita butuh pemimpin dan sistem pemerintahan yang tangan besi untuk mengembalikan suasana chaos dan anarki ini pada katertiban, sekaligus juga mengatakan bahwa sang diktator yang akan menyelamatkan bangsa ini, dan yang harus mulai dengan tangan besi, haruslah orang yang bisa memahami dan menghayati sejarah dengan maksud belajar dari sejarah. Apa itu?
Jadilah Soeharto, tapi yang sejak awal sudah merencanakan mendemokrasikan kembali secara bertahap, sambil mendidik rakyatnya supaya bisa berdemokrasi secara bertanggung jawab. Dan (ini yang paling penting) yang mengerti bahwa demokrasi tidak universal. Demokrasi sangat terikat dengan latar balakang budaya dan nilai dari setiap bangsa. Bangsa Indonesia tidak akan mungkin dapat mengadopsi demokrasi ala Amerika yang diterapkan oleh National Democratic Institute dan The Ohio Mafia di bawah piminan Prof. Bill Liddle.
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi dengan kelembagaan dan sistem yang telah dengan matang direncanakan oleh para founding fathers kita yang para intelektual betulan, bukan pseduo intelektual. Mereka belajar sangat serius berdekade-dekade sebelum Indonesia merdeka. Mereka (terutama Prof. Supomo) sudah sangat lama sebelumnya merenung, mengkombinasikan semua falsafah demokrasi Barat dengan kebudayaan dan nilai-nilai Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945.
Maka setelah kesasar sebentar menjadi Negara Federal dan kesasar memberlakukan konstitusi lain, Bung Karno mendekritkan kembali ke UUD 1945 yang asli. Pak Harto memahami hal tersebut dan tetap mempertahankannya.
Sayang seribu sayang bahwa dengan munculnya para pseudo filosoof dan pseudo intelektual yang sangat dangkal, UUD 1945 diobrak-abrik, seperti halnya per-per yang berlompatan ke semua penjuru.
Apa sistem UUD 1945 itu? Esensinya Presiden tidak dipilih secara langsung, tetapi melalui getrapte democratie, yaitu yang memilih MPR. Sebagian dari anggota MPR diplilih secara langsung untuk belajar demokrasi. Tetapi sebagian diseleksi (bukan dipilih) dari kaum profesional yang disebut kelompok-kelompok fungsional (functionele groepen). Sekali lagi, diseleksi secara cermat yang berkualitas, bermoral tinggi dan bijaksana. Sebagian lain adalah wakil-wakil daerah yang mengerti betul kondisi setiap daerah dari Indonesia yang demikian luasnya, dan yang dihormati serta mempunyai wibawa di daerahnya masing-masing.
Dengan demikian perwakilan kita yang akan memilih Presiden terdiri dari kombinasi antara keinginan rakyat (yang melalui pemilu), dan yang diseleksi sebagai de wijze mannen van het volk.
Lantas sistem musyawarah mufakat yang harus diperjuangkan mati-matian. Hanya kalau benar-benar deadlock dengan akibat tanpa keputusan yang bisa mengakibatkan kekosongan yang lantas menjurus pada chaos, maka pemungutan suara baru diberlakukan. Ini telah mentradisi yang dengan terharu saya alami sendiri di tahun 1987 ketika berfungsi sebagai anggota Badan Pekerja MPR. Terharu, betapa Golkar yang bisa memungut suara dan langsung bisa menggilas aspirasinya PDI dan PPP toh tidak mau melakukannya. Golkar menanggapi setiap pendapat dan argumentasinya PDI dan PPP dengan bersungguh-sungguh, berargumentasi dan meyakinkan PDI dan PPP supaya keputusan diambil secara bulat. Mengapa?
Bung Karno mengatakan, apakah 51% yang memenangkan yang 49% dengan perbedaan 2% saja itu sudah kehendak rakyat? Sudahkan itu dianggap sebagaiVox Populi Vox Dei?
Saya sendiri menyaksikan parlemen Inggris yang sedang menduduki mayoritas langsung keluar sidang ngobrol ketika partai minoritas mengajukan usulan beserta argumentasinya. Sama sekali tidak didengarkan. Hanya ketika pemungutan suara, partai mayoritas masuk ruang, menggunakan hak suaranya yang mayoritas untuk menggilas minoritas tanpa mengetahui apa yang dikehendaki minoritas. Sangat mungkin untuk kebaikan seluruh bangsa, termasuk mayoritas itu juga yang adalah anak bangsa. Toh a priori tidak didengar dengan maksud digilas pada waktu pemungutan suara. Inikah demokrasi?
Para founding fathers kita telah mengenali ekses seperti ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Parlemen Inggris sudah tidak seperti itu lagi perilakunya sekarang. Namun kesadaran mereka bahwa yang demikian itu bukan demokrasi setelah para founding fathers kita mengenalinya, dan memasukkan ke dalam UUD 1945 cara pengambilan keputusan yang melalui “sistem musyawarah untuk mencapai mufakat yang dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan”.
Demikianlah refleksi saya tentang kebijakan politik di era Orde Baru. Mohon dibantah, supaya kita saling asah, asih dan asuh menjadi bangsa yang pandai dan bijaksana.
Tolong diisi surveynya ya: http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/

Minggu, 06 Mei 2012

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia


Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.
Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.
Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .
Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DEWASA INI
Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.
Penerapan teknologi maju
Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.
Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)
Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.
Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.
Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.
Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.
PENDIDIKAN
Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).
Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.
Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial-budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.
Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial-budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahayalagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.
Betapaun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tolong diisi surveynya ya: http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/

Interaksi Sosial



Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial. Dengan adanya dorongan atau motif sosial pada manusia, maka manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan demikian maka akan terjadilah interaksi antara manusia satu dengan manusia yang lain.

Pengertian interaksi sosial 
Interaksi sosial adalah hubungan antar individu satu dengan individu lainnya. Individu satu dapat mempengaruhi yang lain begitu juga sebaliknya. (definisi secara psikologi sosial). Pada kenyataannya interaksi yang terjadi sesungguhnya tidak sesederhana kelihatannya melainkan merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Interaksi terjadi karena ditentukan oleh banyak faktor termasuk manusia lain yang ada di sekitar yang memiliki juga perilaku spesifik.

Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian di sini dalam arti yang luas, yaitu bahwa individu dapat melebur diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.

Faktor-faktor dasar penyebab interaksi manusia
a. Faktor imitasi, imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain.
Menurut Tarde faktor imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang mendasari atau melandasi interaksi sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Gerungan (1966:36). Imitasi tidak berlangsung secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima dan mengagumi terhadap apa yang diimitasi. Untuk mengadakan imitasi atau meniru ada faktor psikologis lain yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak berlangsung secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut berperan, sehingga seseorang mengadakan imitasi. Bagaimana orang dapat mengimitasi sesuatu kalu orang yang bersangkutan tidak mempunyai sikap menerima terhadap apa yang diimitasi itu. Dengan demikian untuk mengimitasi sesuatu perlu adanya sikap menerima, ada sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu, karena itu imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya. Contoh dari imitasi adalah bahasa; anak belajar berbahasa melalui peniruan terhadap orang lain selain itu mode-mode yang melanda masyarakat berkembang karena faktor imitasi.

b. Faktor sugesti, adalah pengaruh psikis yang diterima tanpa adanya kritik
Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan. Karena itu segesti dapat dibedakan (1) auto sugesti, yaitu sugesti terhadap diri sendiri, sugesti yang datang dari dalam diri individu yang bersangkutan, dan (2) hetero sugesti, yaitu sugesti yang datang dari orang lain. Misal sering seseorang merasa sakit-sakit saja, walaupun secara obyektif yang bersangkutan dalam keadaan sehat-sehat saja terapi karena auto-sugesti orang tersebut merasa tidak dalam keadaan sehat, maka ia merasa tidak sehat. Contoh untuk hetero sugesti adalah misal dalam bidang perdagangan, orang mempropagandakan dagangannya sedemikian rupa, hingga tanpa berfikir lebih lanjut orang termakan propaganda itu, dan menerima saja apa yang diajukan oleh pedagang yang bersangkutan.

Imitasi dan sugesti peranannya dalam interaksi hampir sama besarnya, namun berbeda. Dalam imitasi, orang yang mengimitasi keadaannya aktif sebaliknya dengan yang diimitasi dalam keadaan pasif. Sedangkan dalam sugesti orang dengan sengaja dan aktif memberikan pandangan, norma dan sebagainya agar orang lain menerima.
Terjadinya proses sugesti mengikuti dalil sebagai berikut :
• Sugesti akan mudah diterima orang lain, bila daya kritisnya dihambat. Orang yang kemampuan berpikirnya kurang atau kurang kritis akan mudah dipengaruhi. Daya kritis tersebut akan terhambat bila orang terkena stimulus yang bersifat emosional. Atau dalam keadaan fisik dan jiwa yang lelah. Misal orang yang telah berjam-jam rapat, ia sudah lelah baik fisik maupun psikologis , adanya keenganan untuk berfikir secara berat, sehingga biasanya dalam keadaan yang demikian orang akan mudah menerima pendapat, pandangan dari pihak lain, atau dengan kata lain orang yang bersangkutan akan mudah menerima sugesti dari pihak lain.
• Sugesti akan mudah diterima orang lain, bila kemampuan berpikirnya terpecah belah (dissosiasi).Orang mengalami dissosiasi bila orang itu dalam keadaan kebingungan sehingga mudah menerima pengaruh orang lain. Secara psikologis orang yang dalam keadaan bingung berusaha mencari penyelesaian karena jiwanya tidak tenteram sehingga mudah dipengaruhi oleh pihak lain.
• Sugesti akan mudah diterima orang lain, bila materinya mendapat dukungan orang banyak (sugesti mayoritas). Dalam dalil ini orang akan mudah menrima pandangan, nporma, pendapat dan sebagainya bila hal tersebut telah mendapatkan dukungan mayoritas.
• Sugesti akan mudah diterima orang lain, bila yang memberikan materi adalah orang yang memiliki otoritas. Walau materi yang diberikan sama tetapi kalau yang memberikan berbeda maka akan terdapat pula perbedaan dalam penerimaan. Orang yang memiliki otoritas akan cenderung mudah diterima karena tingkat kepercayaan yang tinggi
• Sugesti akan mudah diterima orang lain, bila pada orang yang bersangkutan telah ada pendapat yang mendahului yang searah. Bila dalam diri orang ada pendapat yang telah mendahului dan searah dengan yang disugestikan maka umumnya orang akan mudah menerima pendapat tersebut

c. Faktor identifikasii, adalah dorongan untuk menjadi identik (sama ) dengan orang lain. . Identifikasi adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Freud, seorang tokoh dalam psikologi dalam, khususnya dalam psikoanalisis. Contoh anak-anak belajar norma-norma sosial dari hasil identifikasinya terhadap orang tua mereka. Di dalam identifikasi anak akan mengabil oper sikap-sikap ataupun norma-norma dari orang tuanya yang dijadikan tempat identifikasi itu. Dalam proses identifikasi ini seluruh norma-norma, cita-cita, sikap dan sebagainyadari orang tua sedapat mungkin dijadikan norma-norma, sikap-sikap dan sebagainya itu dari anak sendiri, dan anak menggunakan hal tersebut dalam perilaku sehari-hari.

d. Faktor Simpati, merupakan perasaan tertarik kepada orang lain. Oleh karena merupakan perasaan maka timbulnya atas dasar emosi. Dalam simpati orang merasa tertarik pada orang lain yang seakan-akan berlangsung dengan sendirinya, apa sebabnya tertarik sering tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Lawan dari simpati adalah antipati yaitu merupakan penolakan atau bersifat negatif. Sedangkan empati adalah kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu yang sedang dirasakan orang lain (feeling with another person).

Teori-teori hubungan interpersonal
Ada 4 model hubungan interpersonal yaitu meliputi :
a. Model pertukaran sosial (social exchange model)
Hubungan interpersonal diidentikan dengan suatu transaksi dagang. Orang berinteraksi karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Artinya dalam hubungan tersebut akan menghasilkan ganjaran (akibat positif) atau biaya (akibat negatif) serta hasil / laba (ganjaran dikurangi biaya).
b. Model peranan (role model)
Hubungan interpersonal diartikan sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang memainkan peranannya sesuai naskah yang dibuat masyarakat. Hubungan akan dianggap baik bila individu bertindak sesuai ekspetasi peranan (role expectation), tuntutan peranan (role demands), memiliki ketrampilan (role skills) dan terhindar dari konflik peranan. Ekspetasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan yang berkaitan dengan posisi tertentu, sedang tuntutan peranan adalah desakan sosial akan peran yang harus dijalankan. Sementara itu ketrampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu.
c. Model permainan (games people play model)
Model menggunakan pendekatan analisis transaksional. Model ini menerangkan bahwa dalam berhubungan individu-individu terlibat dalam bermacam permaianan. Kepribadian dasar dalam permainan ini dibagi dalam 3 bagian yaitu :
• Kepribadian orang tua (aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima dari orang tua atau yang dianggap sebagi orang tua).
• Kepribadian orang dewasa (bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional)
• Kepribadian anak (kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak yang mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan).

Pada interaksi individu menggunakan salah satu kepribadian tersebut sedang yang lain membalasnya dengan menampilkan salah satu dari kepribadian tersebut. Sebagai contoh seorang suami yang sakit dan ingin minta perhatian pada istri (kepribadian anak), kemudian istri menyadari rasa sakit suami dan merawatnya (kepribadian orang tua).

d. Model Interaksional (interacsional model)
Model ini memandang hubungann interpersonal sebagi suatu sistem . Setiap sistem memiliki sifat struktural, integratif dan medan. Secara singkat model ini menggabungkan model pertukaran, peranan dan permainan.


Tolong diisi surveynya ya: http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja


Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan
 "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan"energi negatif"
 seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata
 "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.


Tolong disisi surveynya ya: http://www.idsurvei.com/survei/razihandoyo/